HARIYONO USMAN / SAPARUDDIN
A. PENDAHULUAN
Agama adalah sebuah realitas yang senantiasa melingkupi manusia. Agama muncul dalam kehidupan manusia dalam berbagai dimensi, termasuk agama Islam. Namun, yang menjadi tolak ukur dalam membedakan suatu agama adalah isi atau dimensi ajaran agamanya. Dalam Islam, ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Komponen utama agama Islam atau unsur utama ajaran agama Islam (akidah, syari’ah, dan akhlak) dikembangkan dengan rakyu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk mengembangkannya. Yang dikembangkan adalah ajaran agama yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadist. Dengan kata lain, yang dikembangkan lebih lanjut supaya dapat dipahami oleh manusia.
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang paling sempurna, karena memang semuanya ada dalam Islam, mulai dari urusan buang air besar sampai urusan negara. Islam telah memberikan petunjuk di dalamnya.
Salman Al-Farisi berkata,“Telah berkata kepada kami orang-orang musyrikin, ‘Sesungguhnya Nabi kamu telah mengajarkan kepada kamu segala sesuatu sampai buang air besar!’ Jawab Salman, ‘benar!” (Hadits Shohih riwayat Muslim). Hal ini dapat menunjukkan betapa sempurnanya agama Islam dan luasnya petunjuk yang tercakup di dalamnya, yang tidaklah seseorang itu butuh kepada petunjuk selainnya, baik itu teori demokrasi, filsafat atau lainnya; ataupun ucapan Plato, Aristoteles atau siapa pun juga.
Oleh karena itu, sebagai muslim dan muslimat kita patut bersyukur memeluk agama Islam. Tetapi kesyukuran itu harus diikuti dengan mempelajari agama Islam itu sendiri, yakni ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya secara baik dan benar serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-sehari. Mempelajari ajaran Islam tersebut merupakan fardhu kifayah yakni kewajiban kemasyarakatan kaum muslimin. Di samping itu, ajaran Islam bersifat totalitas dan saling melengkapi. Dalam perkataan lain, bahwa kita mengamalkan ajaran Islam termasuk dimensi-dimensinya. Sehingga pada makalah ini akan membahas tentang dimensi-dimensi yang ada dalam ajaran agama Islam dan mengenai akidah, syariah, dan akhlak yang juga merupakan unsur pokok dalam ajaran Islam.
Dalam makalah yang berjudul “Dimensi-Dimensi Ajaran Islam” ini akan membahas 5 poin penting mengenai dimensi-dimensi ajaran Islam, yaitu:
1. Dimensi Ritual
2. Dimensi Mistikal
3. Dimensi Ideologi
4. Dimensi Sosial
5. Akidah, Syariah, dan Akhlak
B. PEMBAHASAN
1. Dimensi Ritual
Dimensi ritual adalah aspek spiritualitas yang berisi peribadatan yang diatur oleh syariat agama Islam. Dengan perkataan lain, dimensi ini merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan perilaku yang disebut ritual keagamaan. Perilaku yang dimaksud bukan perilaku dalam makna umum, melainkan menunjuk kepada perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan oleh agama. Dimensi ini bersifat vertikal, yaitu peningkatan kualitas hubungan antara mahluk dengan penciptanya, yakni Allah SWT. Jika seorang makhluk memiliki kualitas hubungan yang baik terhadap Tuhannya, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan ruhani. Begitupun jika seorang mahluk sangat jauh dari Tuhannya, dalam arti sering mengabaikan ibadah ritual agamanya, biasanya jiwanya kosong, mudah sekali putus asa, bahkan tidak jarang banyak yang menyiksa dirinya ketika sedang ditimpa musibah yang berkepanjangan
Dimensi ini sejajar dengan ibadah. Ibadah merupakan penghambaan manusia kepada Allah sebagai pelaksanaan tugas hidup selaku makhluk Allah. Ibadah yang berkaitan dengan ritual adalah ibadah khusus atau ibadah mahdhah, yaitu ibadah yang bersifat khusus dan langsung kepada Allah dengan tatacara, syarat serta rukun yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an serta penjelasan dalam hadits nabi. Ibadah yang termasuk dalam jenis ini adalah shalat, zakat, puasa dan haji.
2. Dimensi Mistikal
Dimensi mistikal berkaitan dengan perasaan keagamaan seseorang. Psikologi agama menyebutnya sebagai pengalaman keagamaan (religious experience) yaitu unsur perasaan dalam kesadaran agama yang membawa pada suatu keyakinan (Zakiah Darajat, 1996). Pengalaman keagamaan dalam Islam bisa terjadi dari yang paling sederhana seperti merasakan kekhusukan pada waktu shalat dan ketenangan setelah menjalankannya, atau merasakan nikmat dan bahagia ketika memasuki bulan Ramadhan.
Pengalaman yang lebih kompleks adalah seperti pengalaman ma’rifah (gnosis) yang dialami oleh para sufi yang sudah dalam taraf merasakan bahwa hanya Tuhanlah yang sungguh berarti, sehingga jangankan dibanding dengan dunia seisinya, dibanding surga seisinya pun, Rabi’ah al-Adawiyah justru lebih memilih shalat, karena dengan shalat ia akan ‘bertemu’ dan berkomunikasi dengan Tuhan. Bagi sufi setingkat Rabi’ah, komitmen menjalankan berbagai perintah agama bukan lagi karena melihatnya sebagai kewajiban, tetapi lebih didasarkan pada cinta (mahabbah) yang membara kepada Allah. Karena didasarkan dorongan cinta, maka apapun yang dilakukan terasa nikmat.
Dimensi mistikal Islam termanifestasikan dalam pengalaman keagamaan yang meliputi 3 aspek, yaitu dorongan Pencarian Makna Hidup, Kesadaran Akan kehadiran Yang Mahakuasa, Tawakal dan Takwa Kepada Allah SWT.
a. Pencarian Makna Hidup
Upaya manusia untuk mencari makna hidup merupakan motivator utama dalam hidup bukan “rasionalisasi skunder” yang muncul karena dorongan naluriah. Dalam pencarian makna hidup, ada empat pertanyaan yang harus di jawab agar kita mampu mengetahi makna keberadaan kita hidup di bumi ini. Pertanyaan pertama adalah Siapakah kita? Kita adalah manusia. Manusia yang diberikan kesempurnaan oleh Allah swt dan diberi kelebihan berupa akal dan nafsu. Manusia memiliki potensi untuk menjadi lebih mulia derajatnya dibandingkan malaikat, namun bisa juga derajatnya lebih hina dibandingkan hewan.
Pertanyaan kedua adalah Dari mana kita diciptakan? Dalam Qur’an surah Al Mu’minun ayat 12-14 dijelaskan bahwa manusia diciptakan dari air yang dipancarkan (air mani) dan kemudian dari air mani tersebut menjadi segumpal darah, dan seterusnya hingga dalam proses penciptaan tersebut jadilah kita sebagai seorang manusia, yang diberi potensi akal untuk kita berpikir agar mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dari proses penciptaan tersebut, kita mampu menyadari bahwa manusia diciptakan dari proses penciptaan yang sangat luar biasa dahsyatnya, dan ada Allah Sang Maha Pencipta yang telah memilih kita dan menciptakan kita dengan sebaik-baik penciptaan.
Pertanyaan ketiga adalah Untuk apa kita diciptakan? Dalam Qur’an surah Adz Dzaariyat ayat 56, Allah SWT. pun menjelaskannya. “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” bahwa sesungguhnya kita diciptakan di muka bumi ini adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT. yakni Beribadah menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, kerena ibadah tidak hanya ritual shalat, puasa saja, namun banyak aspek kehidupan kita yang merupakan ibadah jika niatan kita adalah untuk menggapai ridha Allah SWT.
Dan pertanyaan keempat adalah Mau kemana kita setelah meninggal nanti? Sebagaimana dari awal kita diciptakan oleh Allah SWT., maka sesungguhnya tempat kita setelah kita meninggal adalah kembali pada Dzat yang menciptakan kita, yakni Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Qiyamah: 12 bahwa “Hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali.”. kemudian kita akan mempertanggungjawabkan apa yang telah kita perbuat selama berkelana di alam dunia. Jika selama di dunia amal kebaikan kita lebih banyak dari pada amal keburukan kita, maka surgalah yang menjadi rumah baru kita di akhirat kelak dan sebaliknya Jika selama di dunia amal kebaikan kita lebih sedikit dari pada amal keburukan kita maka yang menjadi rumah baru kita, yakni neraka. Sebagaimana dalam QS. Al-A’raf: 8-9 bahwa “Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.”
b. Kesadaran Akan Kehadiran Allah SWT
Dalam ajaran Islam, kesadaran akan kehadiran Tuhan (kesadaran Tauhid) sangat penting dibutuhkan. Kesadaran ini hadir, ketika kita kesadaran spiritual telah kita miliki. Seperti yang telah dibahas di atas mengenai dimensi spiritual bahwa ketika seorang makhluk memiliki kualitas hubungan yang baik terhadap Tuhannya, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan ruhani.
Kesadaran Spiritual telah menghantarkan seseorang kepada sang Pencipta yang Maha Agung dan Mulia. Maka, setelah itu manusia bakal berproses lebih jauh berinteraksi dengan Dzat Ketuhanan itu. Disinilah mulai muncul Kesadaran Tauhid.
Di setiap yang kita lihat. Di segala yang kita dengar. Di persoalan-persoalan yang sedang kita pikirkan. Dan di segala sesuatu yang kita lakukan. Bahkan Allah juga hadir di sekujur tubuh kita. Mulai dari denyut jantung, tarikan nafas, geliat otot-otot, percikan sinyal-sinyal listrik di sel-sel saraf dan otak, serta seluruh aktivitas kehidupan kita. Allah hadir di seluruh penjuru kehidupan kita.
Seseorang yang telah mencapai Kesadaran Tauhid tiba-tiba menjadi begitu jernih melihat kehadiran Allah dalam hidupnya. Ketika sedang sendirian, tiba-tiba ia merasakan betapa Allah, telah hadir di tarikan dan hembusan nafasnya.
Ia seakan-akan bisa ‘melihat’ betapa oksigen yang dihirupnya meresap ke dalam paru-parunya, ditangkapi oleh gelembung-gelembung alvioli, kemudian diedarkan ke miliaran sel-sel tubuhnya oleh mekanisme peredaran darah yang mangagumkan.
Ia melihat betapa Allah hadir dan aktif mengendalikan seluruh mekanisme distribusi oksigen itu. la bisa merasakan, betapa ngerinya jika Allah tidak hadir dalam proses pengangkutan oksigen itu.
Dengan demikian, Kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup kita akan membuat kita hidup sesuai dengan pengenalan kita. Hanya orang yang menyangkali kehadiran Tuhan-lah yang melakukan perkara-perkara yang tidak berkenan kepada Tuhan padahal Tuhan hadir di situ. Atau orang yang tidak menyadari kehadiran Tuhan-lah yang terus menerus melakukan hal-hal yang jahat.
c. Takwa dan Tawakkal
Orang yang bertakwa adalah orang yang takut kepada Allah berdasarkan kesadaran: mengerjakan suruhan-Nya, tidak melanggar larangan-Nya, takut terjerumus dalam perbuatan dosa. Orang yang takwa adalah orang yang menjaga (membentengi) diri dari kejahatan; memelihara diri agar tidak melakukan perbuatan yang tidak diridhai Allah; bertanggung jawab mengenai sikap, tingkah laku, dan perbuatannya, dan memenuhi kewajiban. Menurut H. Agus Salim, takwa adalah sikap mental seseorang yang selalu ingat dan waspada terhadap sesuatu dalam rangka memelihara dirinya dari noda dan dosa, selalu berusaha melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar, pantang berbuat salah dan melakukan kejahatan terhadap orang, diri sendiri dan lingkungannya (Gazalba, 1976:46) . Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang beriman agar bertaqwa kepada-Nya dengan sebenar-benarnya taqwa. Suatu ketika Umar bin Khattab Ra pernah ditanya oleh seorang sahabat : “Wahai Umar, apa artinya taqwa?”, Umar menjawab : “Taqwa adalah sekiranya kamu berjalan pada suatu jalan yang licin (becek), kamu pasti berhati-hati agar tidak tergelincir.”
Sedangkan Tawakkal artinya berserah diri, yakni salah satu sifat mulia yang harus ada pada diri seorang mukmin. Bila ia telah benar-benar mengenal Tuhannya melalui makrifat yang telah dicapainya, tidak mungkin sifat tawakkal tersisih darinya. Bahkan, sifat itu akan lekat menjadi sifat dan perbuatannya, dan akan tetap bertawakkal terhadap apapun takdir Allah SWT.
Tawakkal adalah Berserah diri kepada Allah, baik dalam keadaan lapang maupun sempit dalam rangka jalan menuju keselamatan. Manusia merupakan makhluk lemah dan terbatas, sehingga memerlukan bantuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Luas.
Tawakkal berada di antara pintu-pintu iman, sedangkan iman tidak akan terurus dengan baik, kecuali dengan adanya ilmu, hal (keadaan) dan amal. Intinya, tawakkal akan terasah dengan ilmu, dan ia menjadi pokok tawakkal, sementara amal adalah buah tawakkal. Dan hal (keadaan) ini adalah maksud dari nama tawakkal itu sendiri. Tegasnya, orang yang dadanya tidak terisi dengan ilmu tentang Tauhid, maka ia harus memahami bahwa segala sesuatu berlaku atas kehendak Allah SWT .
3. Dimensi Ideologi
Agama adalah sebuah realitas yang senantiasa melingkupi manusia. Agama muncul dalam kehidupan manusia dalam berbagai dimensi, termasuk agama Islam. Namun, yang menjadi tolak ukur dalam membedakan suatu agama adalah isi atau dimensi ajaran agamanya. Dalam Islam, ajaran Islam adalah pengembangan agama Islam. Komponen utama agama Islam atau unsur utama ajaran agama Islam (akidah, syari’ah, dan akhlak) dikembangkan dengan rakyu atau akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk mengembangkannya. Yang dikembangkan adalah ajaran agama yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadist. Dengan kata lain, yang dikembangkan lebih lanjut supaya dapat dipahami oleh manusia.
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang paling sempurna, karena memang semuanya ada dalam Islam, mulai dari urusan buang air besar sampai urusan negara. Islam telah memberikan petunjuk di dalamnya.
Salman Al-Farisi berkata,“Telah berkata kepada kami orang-orang musyrikin, ‘Sesungguhnya Nabi kamu telah mengajarkan kepada kamu segala sesuatu sampai buang air besar!’ Jawab Salman, ‘benar!” (Hadits Shohih riwayat Muslim). Hal ini dapat menunjukkan betapa sempurnanya agama Islam dan luasnya petunjuk yang tercakup di dalamnya, yang tidaklah seseorang itu butuh kepada petunjuk selainnya, baik itu teori demokrasi, filsafat atau lainnya; ataupun ucapan Plato, Aristoteles atau siapa pun juga.
Oleh karena itu, sebagai muslim dan muslimat kita patut bersyukur memeluk agama Islam. Tetapi kesyukuran itu harus diikuti dengan mempelajari agama Islam itu sendiri, yakni ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya secara baik dan benar serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-sehari. Mempelajari ajaran Islam tersebut merupakan fardhu kifayah yakni kewajiban kemasyarakatan kaum muslimin. Di samping itu, ajaran Islam bersifat totalitas dan saling melengkapi. Dalam perkataan lain, bahwa kita mengamalkan ajaran Islam termasuk dimensi-dimensinya. Sehingga pada makalah ini akan membahas tentang dimensi-dimensi yang ada dalam ajaran agama Islam dan mengenai akidah, syariah, dan akhlak yang juga merupakan unsur pokok dalam ajaran Islam.
Dalam makalah yang berjudul “Dimensi-Dimensi Ajaran Islam” ini akan membahas 5 poin penting mengenai dimensi-dimensi ajaran Islam, yaitu:
1. Dimensi Ritual
2. Dimensi Mistikal
3. Dimensi Ideologi
4. Dimensi Sosial
5. Akidah, Syariah, dan Akhlak
B. PEMBAHASAN
1. Dimensi Ritual
Dimensi ritual adalah aspek spiritualitas yang berisi peribadatan yang diatur oleh syariat agama Islam. Dengan perkataan lain, dimensi ini merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan perilaku yang disebut ritual keagamaan. Perilaku yang dimaksud bukan perilaku dalam makna umum, melainkan menunjuk kepada perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan oleh agama. Dimensi ini bersifat vertikal, yaitu peningkatan kualitas hubungan antara mahluk dengan penciptanya, yakni Allah SWT. Jika seorang makhluk memiliki kualitas hubungan yang baik terhadap Tuhannya, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan ruhani. Begitupun jika seorang mahluk sangat jauh dari Tuhannya, dalam arti sering mengabaikan ibadah ritual agamanya, biasanya jiwanya kosong, mudah sekali putus asa, bahkan tidak jarang banyak yang menyiksa dirinya ketika sedang ditimpa musibah yang berkepanjangan
Dimensi ini sejajar dengan ibadah. Ibadah merupakan penghambaan manusia kepada Allah sebagai pelaksanaan tugas hidup selaku makhluk Allah. Ibadah yang berkaitan dengan ritual adalah ibadah khusus atau ibadah mahdhah, yaitu ibadah yang bersifat khusus dan langsung kepada Allah dengan tatacara, syarat serta rukun yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an serta penjelasan dalam hadits nabi. Ibadah yang termasuk dalam jenis ini adalah shalat, zakat, puasa dan haji.
2. Dimensi Mistikal
Dimensi mistikal berkaitan dengan perasaan keagamaan seseorang. Psikologi agama menyebutnya sebagai pengalaman keagamaan (religious experience) yaitu unsur perasaan dalam kesadaran agama yang membawa pada suatu keyakinan (Zakiah Darajat, 1996). Pengalaman keagamaan dalam Islam bisa terjadi dari yang paling sederhana seperti merasakan kekhusukan pada waktu shalat dan ketenangan setelah menjalankannya, atau merasakan nikmat dan bahagia ketika memasuki bulan Ramadhan.
Pengalaman yang lebih kompleks adalah seperti pengalaman ma’rifah (gnosis) yang dialami oleh para sufi yang sudah dalam taraf merasakan bahwa hanya Tuhanlah yang sungguh berarti, sehingga jangankan dibanding dengan dunia seisinya, dibanding surga seisinya pun, Rabi’ah al-Adawiyah justru lebih memilih shalat, karena dengan shalat ia akan ‘bertemu’ dan berkomunikasi dengan Tuhan. Bagi sufi setingkat Rabi’ah, komitmen menjalankan berbagai perintah agama bukan lagi karena melihatnya sebagai kewajiban, tetapi lebih didasarkan pada cinta (mahabbah) yang membara kepada Allah. Karena didasarkan dorongan cinta, maka apapun yang dilakukan terasa nikmat.
Dimensi mistikal Islam termanifestasikan dalam pengalaman keagamaan yang meliputi 3 aspek, yaitu dorongan Pencarian Makna Hidup, Kesadaran Akan kehadiran Yang Mahakuasa, Tawakal dan Takwa Kepada Allah SWT.
a. Pencarian Makna Hidup
Upaya manusia untuk mencari makna hidup merupakan motivator utama dalam hidup bukan “rasionalisasi skunder” yang muncul karena dorongan naluriah. Dalam pencarian makna hidup, ada empat pertanyaan yang harus di jawab agar kita mampu mengetahi makna keberadaan kita hidup di bumi ini. Pertanyaan pertama adalah Siapakah kita? Kita adalah manusia. Manusia yang diberikan kesempurnaan oleh Allah swt dan diberi kelebihan berupa akal dan nafsu. Manusia memiliki potensi untuk menjadi lebih mulia derajatnya dibandingkan malaikat, namun bisa juga derajatnya lebih hina dibandingkan hewan.
Pertanyaan kedua adalah Dari mana kita diciptakan? Dalam Qur’an surah Al Mu’minun ayat 12-14 dijelaskan bahwa manusia diciptakan dari air yang dipancarkan (air mani) dan kemudian dari air mani tersebut menjadi segumpal darah, dan seterusnya hingga dalam proses penciptaan tersebut jadilah kita sebagai seorang manusia, yang diberi potensi akal untuk kita berpikir agar mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dari proses penciptaan tersebut, kita mampu menyadari bahwa manusia diciptakan dari proses penciptaan yang sangat luar biasa dahsyatnya, dan ada Allah Sang Maha Pencipta yang telah memilih kita dan menciptakan kita dengan sebaik-baik penciptaan.
Pertanyaan ketiga adalah Untuk apa kita diciptakan? Dalam Qur’an surah Adz Dzaariyat ayat 56, Allah SWT. pun menjelaskannya. “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” bahwa sesungguhnya kita diciptakan di muka bumi ini adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT. yakni Beribadah menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, kerena ibadah tidak hanya ritual shalat, puasa saja, namun banyak aspek kehidupan kita yang merupakan ibadah jika niatan kita adalah untuk menggapai ridha Allah SWT.
Dan pertanyaan keempat adalah Mau kemana kita setelah meninggal nanti? Sebagaimana dari awal kita diciptakan oleh Allah SWT., maka sesungguhnya tempat kita setelah kita meninggal adalah kembali pada Dzat yang menciptakan kita, yakni Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Qiyamah: 12 bahwa “Hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali.”. kemudian kita akan mempertanggungjawabkan apa yang telah kita perbuat selama berkelana di alam dunia. Jika selama di dunia amal kebaikan kita lebih banyak dari pada amal keburukan kita, maka surgalah yang menjadi rumah baru kita di akhirat kelak dan sebaliknya Jika selama di dunia amal kebaikan kita lebih sedikit dari pada amal keburukan kita maka yang menjadi rumah baru kita, yakni neraka. Sebagaimana dalam QS. Al-A’raf: 8-9 bahwa “Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.”
b. Kesadaran Akan Kehadiran Allah SWT
Dalam ajaran Islam, kesadaran akan kehadiran Tuhan (kesadaran Tauhid) sangat penting dibutuhkan. Kesadaran ini hadir, ketika kita kesadaran spiritual telah kita miliki. Seperti yang telah dibahas di atas mengenai dimensi spiritual bahwa ketika seorang makhluk memiliki kualitas hubungan yang baik terhadap Tuhannya, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan ruhani.
Kesadaran Spiritual telah menghantarkan seseorang kepada sang Pencipta yang Maha Agung dan Mulia. Maka, setelah itu manusia bakal berproses lebih jauh berinteraksi dengan Dzat Ketuhanan itu. Disinilah mulai muncul Kesadaran Tauhid.
Di setiap yang kita lihat. Di segala yang kita dengar. Di persoalan-persoalan yang sedang kita pikirkan. Dan di segala sesuatu yang kita lakukan. Bahkan Allah juga hadir di sekujur tubuh kita. Mulai dari denyut jantung, tarikan nafas, geliat otot-otot, percikan sinyal-sinyal listrik di sel-sel saraf dan otak, serta seluruh aktivitas kehidupan kita. Allah hadir di seluruh penjuru kehidupan kita.
Seseorang yang telah mencapai Kesadaran Tauhid tiba-tiba menjadi begitu jernih melihat kehadiran Allah dalam hidupnya. Ketika sedang sendirian, tiba-tiba ia merasakan betapa Allah, telah hadir di tarikan dan hembusan nafasnya.
Ia seakan-akan bisa ‘melihat’ betapa oksigen yang dihirupnya meresap ke dalam paru-parunya, ditangkapi oleh gelembung-gelembung alvioli, kemudian diedarkan ke miliaran sel-sel tubuhnya oleh mekanisme peredaran darah yang mangagumkan.
Ia melihat betapa Allah hadir dan aktif mengendalikan seluruh mekanisme distribusi oksigen itu. la bisa merasakan, betapa ngerinya jika Allah tidak hadir dalam proses pengangkutan oksigen itu.
Dengan demikian, Kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup kita akan membuat kita hidup sesuai dengan pengenalan kita. Hanya orang yang menyangkali kehadiran Tuhan-lah yang melakukan perkara-perkara yang tidak berkenan kepada Tuhan padahal Tuhan hadir di situ. Atau orang yang tidak menyadari kehadiran Tuhan-lah yang terus menerus melakukan hal-hal yang jahat.
c. Takwa dan Tawakkal
Orang yang bertakwa adalah orang yang takut kepada Allah berdasarkan kesadaran: mengerjakan suruhan-Nya, tidak melanggar larangan-Nya, takut terjerumus dalam perbuatan dosa. Orang yang takwa adalah orang yang menjaga (membentengi) diri dari kejahatan; memelihara diri agar tidak melakukan perbuatan yang tidak diridhai Allah; bertanggung jawab mengenai sikap, tingkah laku, dan perbuatannya, dan memenuhi kewajiban. Menurut H. Agus Salim, takwa adalah sikap mental seseorang yang selalu ingat dan waspada terhadap sesuatu dalam rangka memelihara dirinya dari noda dan dosa, selalu berusaha melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar, pantang berbuat salah dan melakukan kejahatan terhadap orang, diri sendiri dan lingkungannya (Gazalba, 1976:46) . Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang beriman agar bertaqwa kepada-Nya dengan sebenar-benarnya taqwa. Suatu ketika Umar bin Khattab Ra pernah ditanya oleh seorang sahabat : “Wahai Umar, apa artinya taqwa?”, Umar menjawab : “Taqwa adalah sekiranya kamu berjalan pada suatu jalan yang licin (becek), kamu pasti berhati-hati agar tidak tergelincir.”
Sedangkan Tawakkal artinya berserah diri, yakni salah satu sifat mulia yang harus ada pada diri seorang mukmin. Bila ia telah benar-benar mengenal Tuhannya melalui makrifat yang telah dicapainya, tidak mungkin sifat tawakkal tersisih darinya. Bahkan, sifat itu akan lekat menjadi sifat dan perbuatannya, dan akan tetap bertawakkal terhadap apapun takdir Allah SWT.
Tawakkal adalah Berserah diri kepada Allah, baik dalam keadaan lapang maupun sempit dalam rangka jalan menuju keselamatan. Manusia merupakan makhluk lemah dan terbatas, sehingga memerlukan bantuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Luas.
Tawakkal berada di antara pintu-pintu iman, sedangkan iman tidak akan terurus dengan baik, kecuali dengan adanya ilmu, hal (keadaan) dan amal. Intinya, tawakkal akan terasah dengan ilmu, dan ia menjadi pokok tawakkal, sementara amal adalah buah tawakkal. Dan hal (keadaan) ini adalah maksud dari nama tawakkal itu sendiri. Tegasnya, orang yang dadanya tidak terisi dengan ilmu tentang Tauhid, maka ia harus memahami bahwa segala sesuatu berlaku atas kehendak Allah SWT .
3. Dimensi Ideologi
Dimensi ideologi merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan apa yang harus dipercayai dan menjadi sistem keyakinan (creed). Doktrin mengenai kepercayaan atau keyakinan adalah yang paling dasar yang bisa membedakan agama satu dengan lainnya. Dengan perkataan lain, dimensi ideologi ini mengacu pada serangkaian kepercayaan yang menjelaskan eksistensi manusia terhadap Tuhan, dan sesama makhluk Tuhan yang lain (sesama manusia dan alam semesta)
Dalam Islam, eksistensi manusia terhadap Tuhannya (hablum minallah) merupakan hubungan yang membentuk garis vertikal, bahkan paling dan lebih dekat dari urat nadi leher manusia itu sendiri. Dan dalam hubungan ini tidak ada satu angan-angan, gerak hati atau perbuatan di luar pengawasan Allah SWT. Garis vertikal ini menempatkan diri manusia pada posisi hamba Allah (Abdillah), yang mempunyai kewajiban untuk mengabdi dan melayani kehendak Allah. Posisi ini dirumuskan di dalam QS. Azzariyat: 56 bahwa “Dan tidak kami jadikan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada Ku.” Pengabdian ini meliputi seluruh aspek kehidupan dan penghidupan manusia setiap saat dan di manapun juga.
Eksistensi manusia dan sesamanya (hablum minannas), yakni hubungan baik secara biologis, psikologis maupun sosiologis saling membutuhkan satu dengan yang lainnya; dan karenanya manusia juga disebut makhluk sosial.
Hubungan manusia dengan sesamanya, dijadikan Islam sebagai syarat hidup yang kedua yang mesti dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, baik dalam bentuk muamalah dalam arti luas maupun akhlak. Dengan hubungan ini, manusia tiak dibenarkan untuk mengasingkan diri lepas dari manusia lainnya atau membebaskan diri dari tanggung jawab terhadap persoalan-persoalan hidup masyarakat.
Selain itu, eksistensi manusia dengan makhluk tuhan lainnya, yakni alam semesta. Dalam eksistensi ini, manusia mempunyai posisi sebagai khalifah di bumi, yang mempunyai hak untuk menggali, mengolah, dan memanfaatkan serta memimpin. Posisi yang demikian itu difirmankan dengan jelas dalam Al Qur’an surah Al An’am: 165 yang artinya “Dan Dia telah menjadikan kamu khalifah di atas bumi”
Dengan posisi ini mengandung arti bahwa derajat manusia sebagai pemimpin alam hewani, dan benda-benda lainnya, jangan direndahkan sehingga manusia derajatnya sama dengan makhluk-makhluk tersebut.
Selanjutnya fungsi khalifah di bumi ini mempunyai kewajiban-kewajiban dalam menjalankan jabatan tersebut. Kewajiban-kewajiban itu ialah menerapkan nilai-nilai Ilahi dalam mengurus bumi ini. Dengan perkataan lain, mengurus bumi ini menurut pola dan peta yang sudah disediakan Allah buat manusia.
Karenanya manusia dalam melaksanakan jabatan sebagai khalifah di bumi, mesti mengerti dan menghayati syarat-syarat jabatan tersebut. Menrut Maududi syarat-syarat itu ialah:
1. Pemilik yang sebenarnya dari bumi ini tetap tinggal pada Tuhan dan bukan pada manusia.
2. Manusia dalam mengurus bumi ini harus sesuai dengan instruksi Tuhan (sebagai pemilik).
3. Manusia akan melaksanakan kekuasaannya itu dalam batas-batas yang telah Tuhan tentukan baginya.
4. Dalam menjalankan administrasi dari amanat Tuhan itu, manusia akan memenuhi keinginan-keinginan Tuhan dan bukan kehendak/keinginan sendiri saja.
Keempat syarat-syarat tersebut di atas harus dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebab tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut berarti manusia telah menyalahi posisinya sebagai wakil Tuhan di bumi. Dan karenanya tidak logis apabila fungsi itu akan tetap dipegangnya kalau tidak memenuhi apa-apa yang harus untuk dipenuhi .
4. Dimensi Sosial
Dalam Islam, eksistensi manusia terhadap Tuhannya (hablum minallah) merupakan hubungan yang membentuk garis vertikal, bahkan paling dan lebih dekat dari urat nadi leher manusia itu sendiri. Dan dalam hubungan ini tidak ada satu angan-angan, gerak hati atau perbuatan di luar pengawasan Allah SWT. Garis vertikal ini menempatkan diri manusia pada posisi hamba Allah (Abdillah), yang mempunyai kewajiban untuk mengabdi dan melayani kehendak Allah. Posisi ini dirumuskan di dalam QS. Azzariyat: 56 bahwa “Dan tidak kami jadikan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada Ku.” Pengabdian ini meliputi seluruh aspek kehidupan dan penghidupan manusia setiap saat dan di manapun juga.
Eksistensi manusia dan sesamanya (hablum minannas), yakni hubungan baik secara biologis, psikologis maupun sosiologis saling membutuhkan satu dengan yang lainnya; dan karenanya manusia juga disebut makhluk sosial.
Hubungan manusia dengan sesamanya, dijadikan Islam sebagai syarat hidup yang kedua yang mesti dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, baik dalam bentuk muamalah dalam arti luas maupun akhlak. Dengan hubungan ini, manusia tiak dibenarkan untuk mengasingkan diri lepas dari manusia lainnya atau membebaskan diri dari tanggung jawab terhadap persoalan-persoalan hidup masyarakat.
Selain itu, eksistensi manusia dengan makhluk tuhan lainnya, yakni alam semesta. Dalam eksistensi ini, manusia mempunyai posisi sebagai khalifah di bumi, yang mempunyai hak untuk menggali, mengolah, dan memanfaatkan serta memimpin. Posisi yang demikian itu difirmankan dengan jelas dalam Al Qur’an surah Al An’am: 165 yang artinya “Dan Dia telah menjadikan kamu khalifah di atas bumi”
Dengan posisi ini mengandung arti bahwa derajat manusia sebagai pemimpin alam hewani, dan benda-benda lainnya, jangan direndahkan sehingga manusia derajatnya sama dengan makhluk-makhluk tersebut.
Selanjutnya fungsi khalifah di bumi ini mempunyai kewajiban-kewajiban dalam menjalankan jabatan tersebut. Kewajiban-kewajiban itu ialah menerapkan nilai-nilai Ilahi dalam mengurus bumi ini. Dengan perkataan lain, mengurus bumi ini menurut pola dan peta yang sudah disediakan Allah buat manusia.
Karenanya manusia dalam melaksanakan jabatan sebagai khalifah di bumi, mesti mengerti dan menghayati syarat-syarat jabatan tersebut. Menrut Maududi syarat-syarat itu ialah:
1. Pemilik yang sebenarnya dari bumi ini tetap tinggal pada Tuhan dan bukan pada manusia.
2. Manusia dalam mengurus bumi ini harus sesuai dengan instruksi Tuhan (sebagai pemilik).
3. Manusia akan melaksanakan kekuasaannya itu dalam batas-batas yang telah Tuhan tentukan baginya.
4. Dalam menjalankan administrasi dari amanat Tuhan itu, manusia akan memenuhi keinginan-keinginan Tuhan dan bukan kehendak/keinginan sendiri saja.
Keempat syarat-syarat tersebut di atas harus dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebab tanpa memenuhi syarat-syarat tersebut berarti manusia telah menyalahi posisinya sebagai wakil Tuhan di bumi. Dan karenanya tidak logis apabila fungsi itu akan tetap dipegangnya kalau tidak memenuhi apa-apa yang harus untuk dipenuhi .
4. Dimensi Sosial
Dimensi sosial yakni berkaitan dengan ajaran Islam yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat, yaitu mendorong terciptanya keadilan dan solidaritas antara sesama manusia. Islam juga disebut sebagai agama kemasyarakatan. Hal ini selaras dengan watak dasar manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup sendiri (makhluk madani).
Islam sangat memperhatikan kebutuhan masyarakat dan individu, di dalam ajarannya juga menyeimbangkan faktor sosial dan faktor individu. Ajaran Islam tidak hanya memperhatikan masalah individu dan meremehkan masalah sosial, demikian juga tidak lebih memperhatikan masalah sosial dan meremehkan masalah individu, melainkan memberikan perhatian yang sama besar kepada dua masalah ini, baik menyangkut hak maupun kewajiban tanpa ada yang merasa dipaksa ataupun dirugikan.
Islam mendorong agar umat Islam terbiasa dengan cara berpikir kolektif dan memiliki rasa sosial yang tinggi. Sampai seorang muslim ketika melaksanakan shalat, meskipun di dalam rumah sendirian, namun tetap mengucapkan: “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah:5)
Permohonan yang dilakukan bersama-sama ini menumbuhkan perasaan hidup bersama (berjamaah) dalam hatinya, kemudian berdoa kepada Allah: “Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah:6)
Ia memohon hidayah untuk dirinya sendiri dan untuk jamaah yang ada bersamanya. Inilah semangat kebersamaan yang terkandung dalam surah Al-Fatihah . Begitupun ketika shalat diakhiri dengan salam. Hal ini mengindikasikan bahwa setelah seorang hamba melakukan hubungan (komunikasi) yang baik dengan Allah, maka diharapkan hubungan yang baik tersebut juga berdampak pada hubungan yang baik kepada sesama manusia. Dengan perkataan lain, jika seorang hamba dengan penuh kekhusyuan dan kesungguhan menghayati kehadiran Tuhan pada waktu shalat, maka diharapkan bahwa penghayatan akan kehadiran Tuhan itu akan mempunyai dampak positif pada tingkah laku dan pekertinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Semangat sosial juga terlihat ketika kita melakukan ibadah puasa terutama dalam bulan Ramadhan. secara sosial. Kata Hasan Hanafi dalam al-Din wa al-Tsawrah (1990: 63, VII), puasa melatih kepekaan atas nasib sesama yang menderita kelaparan dan kehausan. Dalam konteks itulah kita bisa memahami adanya perintah untuk mengeluarkan zakat fitrah di penghujung bulan Ramadan. Terang sekali, secara fungsional dan simbolis perintah zakat fitrah merupakan refleksi bagi adanya sasaran sosial yang hendak diraih dalam berpuasa, yaitu sebuah komitmen moral dan keprihatinan sosial untuk menimbun jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Dengan demikian, Islam datang dengan membawa misi sosial dengan menaruh kepedulian yang tinggi terhadap permasalahan kemasyarakatan .
5. Akidah, Syariah, dan Akhlak
Andai Islam diibaratkan dalam sebuah pohon, maka akidah (iman) bagaikan akar yang menunjang kokoh dan tegaknya batang di atas permukaan bumi. Sedangkan syariah dimisalkan sebagai batang yang berdiri kokoh di atas akar yang menunjang, dan akhlak bagaikan buah yang dihasilkan dari proses yang berlangsung pada akar batang. Dengan perkataan lain, bahwa akidah mendasari syariah dan akhlak. Dapat dipahami pula bahwa syariah merupakan aturan yang berdasarkan akidah yang harus ditampilkan dengan akhlak atau akhlak merupakan perilaku yang tampak sebagai pelaksanaan syariat yang berdasarkan akidah .
Akidah atau iman bertitik sentral kepada tauhid, yakni mengesakan Allah. Tauhid kepada Allah yaitu pengakuan kenyataan bahwa hanya Allah sajalah yang berdaulat dan memerintah dan bahwa segala sesuatu yang dimiliki manusia, termasuk hidupnya sendiri, adalah kepunyaan-Nya dan harus digunakan sesuai dengan petunjuk-petunjuk-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surah Al-Maidah: 120 “kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Selanjutnya Iman mempunyai 6 unsur, yaitu: (1) Iman kepada Allah, (2) Iman kepada Malaikat-malaikat-Nya, (3) Iman kepada Kitab-kitab-Nya, (4) Iman kepada Rasul-rasul-Nya, (5) Iman kepada Hari Akhir, (6) Iman kepada Qadha dan Qadar .
Adapun syariah adalah sistem atau aturan yang disyariahkan oleh Allah SWT. untuk mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesama muslim, dengan sesama manusia, dengan alam semesta, dan dengan kehidupan . Selain itu, syariah Islam mengatur perbuatan manusia dalam kaitan hukum yang terdiri dari wajib, sunnat, mubah, makruh, dan haram.
Syariah sebagai aturan terdiri dari atas 2 masalah pokok, yaitu pertama, ibadah, yakni shalat, zakat, puasa, dan haji. Kedua muamalah yang berkaitan ketetapan Allah berhubungan dengan kehidupan sosial manusia terbatas pada yang pokok-pokok saja, seperti perdagangan, jinayah, munakahat, warathah, jihad, khilafah .
Akhlak adalah perangai atau tabiat, yaitu gambaran sifat-sifat batin/jiwa manusia. (Humaidi Tatapangsara, 1984: 13-16). Akhlak menempati posisi penting dan pentingnya dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliyah Rasulullah Saw. Dan Akhlak Rasulullah Saw yang diutus menyempurnakan akhlak manusia itu, disebut akhlak Islami karena bersumber dari wahyu Allah yang kini terdapat dalam Al-Quran yang menjadi sumber utama ajaran agama dan ajaran Islam . Pada umumnya, akhlak terbagi menjadi 3, yakni akhlak manusia terhadap Allah SWT., akhlak manusia terhadap sesamanya, dan akhlak manusia terhadap alam semesta.
C. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, yaitu:
1. Dimensi Ritual merupakan dimensi dalam ajaran Islam yang berisi tentang ritual atau ibadah-ibadah yang sifatnya vertikal, yaitu hubungan manusia dengan penciptanya, yakni Allah SWT. Ibadah dalam dimensi riual ini yang dimaksud adalah ibadah yang sifatnya langsung kepada Allah dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang sudah ditetapkan dan dijelaskan dalam kitab suci Al-Quran dan Al- Hadist. Ibadah-ibadah itu adalah shalat, puasa, zakat, dan haji.
2. Dimensi Mistikal merupakan dimensi dalam ajaran Islam yang berkaitan dengan perasaan (psikologi) seseorang akan kesadaran agama yang membawanya pada suatu keyakinan. Dimensi mistikal terdiri atas 3 aspek, yaitu (1) pencarian makna hidup, yakni upaya dalam memahami hidup dan kehidupan dengan merenungi 4 pertanyaan, yaitu siapakah kita, dari mana kita diciptakan, untuk apa kita diciptakan, dan mau kemana kita setelah meninggal; (2) kesadaran akan kehadiran Allah SWT., yakni keyakinan seseorang akan setiap gerak langkah dan di setiap desah nafasnya bahwa ada Allah di setiap langkah dan desah itu. Seseorang yang merasa Allah hadir di setiap penjuru kehidupannya; (3) takwa dan tawakkal, yakni takut dan berserah diri kepada Allah SWT. Dengan perintah takwa, kita akan berusaha untuk meninggalkan apa-apa yang dilarang dan mengerjakan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah. Dengan tawakkal kita akan selalu memohon kepada Allah dengan rendah diri membuktikan manusia sangat tergantung pada Allah SWT. atas hidup dan kehidupannya.
3. Dimensi ideologi merupakan dimensi yang berisi tentang 2 hal, yakni (1) eksistensi manusia terhadap Allah SWT, yaitu eksistensi manusia sebagai hamba Allah yang harus beribadah serta melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah SWT.; (2) Eksistensi manusia terhadap sesama makhluk Allah yang lain (sesama manusia dan alam semesta), yaitu keberadaan manusia yang tak bisa lepas dengan manusia yang lain. Manusia yang satu pasti akan membutuhkan pertolongan manusia yang lainnya dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu, dalam hubungannya dengan alam semesta, manusia mempunyai khalifah untuk menggali, mengolah, dan memanfaatkan serta memimpin.
4. Dimensi Sosial merupakan dimensi yang menjelaskan tentang ajaran Islam hubungannya dengan masyarakat dalam rangka menciptakan keadilan dan solidaritas antara sesama manusia sesuai dengan ungkapan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Rasa sosial dalam ajaran Islam salah satunya terdapat dalam ibadah seperti shalat, zakat, dan puasa.
5. Akidah syariah, dan akhlak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Akidah berkaitan dengan iman, syariah berhubungan dengan ibadah dan muamalah, sedangkan akhlak berhubungan dengan akhlak kepada Tuhan dan akhlak kepada makhluk. Akidah adalah dasar keyakinan yang mendorong penerimaan syariah Islam secara utuh. Jika syariah telah dilaksanakan berdasarkan akidah, akan lahir bentuk-bentuk tingkah laku yang baik bernama akhlak.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Nuar Dwiyarno. (2008 ). Takwa dan Tawakkal kepada-Nya. (online), (http://spesialis-torch.com/content/view/109/29/, diakses 16 Agustus 2010)
Ali, Muhammad Daud. 2006. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 1999. Reposisi Islam. Terjemahan oleh Muhammad Arif Rahman. 2001. Jakarta: Al Mawardi Prima.
Arwani.(2010). Dimensi-dimensi keberagaman. (online), (http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/209/memahami-makna-bahagia.html, diakses 14 agustus 2010).
Asuru, Arsidik Dkk. 1997. Pendidikan Agama Islam. Kendari: Universitas Haluoleo.
Djaelani, Abdul Qodir. 1996. Perjuangan Ideologi Islam di Indonesia. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Iskandar, Arief B. 2010. Tetralogi Dasar Islam. Bogor: Al-Azhar Press.
Nisa.(2009). Memahami Makna Bahagia.(online), (http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/209/memahami-makna-bahagia.html, diakses 16 Agustus 2010).
Islam sangat memperhatikan kebutuhan masyarakat dan individu, di dalam ajarannya juga menyeimbangkan faktor sosial dan faktor individu. Ajaran Islam tidak hanya memperhatikan masalah individu dan meremehkan masalah sosial, demikian juga tidak lebih memperhatikan masalah sosial dan meremehkan masalah individu, melainkan memberikan perhatian yang sama besar kepada dua masalah ini, baik menyangkut hak maupun kewajiban tanpa ada yang merasa dipaksa ataupun dirugikan.
Islam mendorong agar umat Islam terbiasa dengan cara berpikir kolektif dan memiliki rasa sosial yang tinggi. Sampai seorang muslim ketika melaksanakan shalat, meskipun di dalam rumah sendirian, namun tetap mengucapkan: “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah:5)
Permohonan yang dilakukan bersama-sama ini menumbuhkan perasaan hidup bersama (berjamaah) dalam hatinya, kemudian berdoa kepada Allah: “Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah:6)
Ia memohon hidayah untuk dirinya sendiri dan untuk jamaah yang ada bersamanya. Inilah semangat kebersamaan yang terkandung dalam surah Al-Fatihah . Begitupun ketika shalat diakhiri dengan salam. Hal ini mengindikasikan bahwa setelah seorang hamba melakukan hubungan (komunikasi) yang baik dengan Allah, maka diharapkan hubungan yang baik tersebut juga berdampak pada hubungan yang baik kepada sesama manusia. Dengan perkataan lain, jika seorang hamba dengan penuh kekhusyuan dan kesungguhan menghayati kehadiran Tuhan pada waktu shalat, maka diharapkan bahwa penghayatan akan kehadiran Tuhan itu akan mempunyai dampak positif pada tingkah laku dan pekertinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Semangat sosial juga terlihat ketika kita melakukan ibadah puasa terutama dalam bulan Ramadhan. secara sosial. Kata Hasan Hanafi dalam al-Din wa al-Tsawrah (1990: 63, VII), puasa melatih kepekaan atas nasib sesama yang menderita kelaparan dan kehausan. Dalam konteks itulah kita bisa memahami adanya perintah untuk mengeluarkan zakat fitrah di penghujung bulan Ramadan. Terang sekali, secara fungsional dan simbolis perintah zakat fitrah merupakan refleksi bagi adanya sasaran sosial yang hendak diraih dalam berpuasa, yaitu sebuah komitmen moral dan keprihatinan sosial untuk menimbun jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Dengan demikian, Islam datang dengan membawa misi sosial dengan menaruh kepedulian yang tinggi terhadap permasalahan kemasyarakatan .
5. Akidah, Syariah, dan Akhlak
Andai Islam diibaratkan dalam sebuah pohon, maka akidah (iman) bagaikan akar yang menunjang kokoh dan tegaknya batang di atas permukaan bumi. Sedangkan syariah dimisalkan sebagai batang yang berdiri kokoh di atas akar yang menunjang, dan akhlak bagaikan buah yang dihasilkan dari proses yang berlangsung pada akar batang. Dengan perkataan lain, bahwa akidah mendasari syariah dan akhlak. Dapat dipahami pula bahwa syariah merupakan aturan yang berdasarkan akidah yang harus ditampilkan dengan akhlak atau akhlak merupakan perilaku yang tampak sebagai pelaksanaan syariat yang berdasarkan akidah .
Akidah atau iman bertitik sentral kepada tauhid, yakni mengesakan Allah. Tauhid kepada Allah yaitu pengakuan kenyataan bahwa hanya Allah sajalah yang berdaulat dan memerintah dan bahwa segala sesuatu yang dimiliki manusia, termasuk hidupnya sendiri, adalah kepunyaan-Nya dan harus digunakan sesuai dengan petunjuk-petunjuk-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surah Al-Maidah: 120 “kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Selanjutnya Iman mempunyai 6 unsur, yaitu: (1) Iman kepada Allah, (2) Iman kepada Malaikat-malaikat-Nya, (3) Iman kepada Kitab-kitab-Nya, (4) Iman kepada Rasul-rasul-Nya, (5) Iman kepada Hari Akhir, (6) Iman kepada Qadha dan Qadar .
Adapun syariah adalah sistem atau aturan yang disyariahkan oleh Allah SWT. untuk mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesama muslim, dengan sesama manusia, dengan alam semesta, dan dengan kehidupan . Selain itu, syariah Islam mengatur perbuatan manusia dalam kaitan hukum yang terdiri dari wajib, sunnat, mubah, makruh, dan haram.
Syariah sebagai aturan terdiri dari atas 2 masalah pokok, yaitu pertama, ibadah, yakni shalat, zakat, puasa, dan haji. Kedua muamalah yang berkaitan ketetapan Allah berhubungan dengan kehidupan sosial manusia terbatas pada yang pokok-pokok saja, seperti perdagangan, jinayah, munakahat, warathah, jihad, khilafah .
Akhlak adalah perangai atau tabiat, yaitu gambaran sifat-sifat batin/jiwa manusia. (Humaidi Tatapangsara, 1984: 13-16). Akhlak menempati posisi penting dan pentingnya dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliyah Rasulullah Saw. Dan Akhlak Rasulullah Saw yang diutus menyempurnakan akhlak manusia itu, disebut akhlak Islami karena bersumber dari wahyu Allah yang kini terdapat dalam Al-Quran yang menjadi sumber utama ajaran agama dan ajaran Islam . Pada umumnya, akhlak terbagi menjadi 3, yakni akhlak manusia terhadap Allah SWT., akhlak manusia terhadap sesamanya, dan akhlak manusia terhadap alam semesta.
C. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, yaitu:
1. Dimensi Ritual merupakan dimensi dalam ajaran Islam yang berisi tentang ritual atau ibadah-ibadah yang sifatnya vertikal, yaitu hubungan manusia dengan penciptanya, yakni Allah SWT. Ibadah dalam dimensi riual ini yang dimaksud adalah ibadah yang sifatnya langsung kepada Allah dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang sudah ditetapkan dan dijelaskan dalam kitab suci Al-Quran dan Al- Hadist. Ibadah-ibadah itu adalah shalat, puasa, zakat, dan haji.
2. Dimensi Mistikal merupakan dimensi dalam ajaran Islam yang berkaitan dengan perasaan (psikologi) seseorang akan kesadaran agama yang membawanya pada suatu keyakinan. Dimensi mistikal terdiri atas 3 aspek, yaitu (1) pencarian makna hidup, yakni upaya dalam memahami hidup dan kehidupan dengan merenungi 4 pertanyaan, yaitu siapakah kita, dari mana kita diciptakan, untuk apa kita diciptakan, dan mau kemana kita setelah meninggal; (2) kesadaran akan kehadiran Allah SWT., yakni keyakinan seseorang akan setiap gerak langkah dan di setiap desah nafasnya bahwa ada Allah di setiap langkah dan desah itu. Seseorang yang merasa Allah hadir di setiap penjuru kehidupannya; (3) takwa dan tawakkal, yakni takut dan berserah diri kepada Allah SWT. Dengan perintah takwa, kita akan berusaha untuk meninggalkan apa-apa yang dilarang dan mengerjakan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah. Dengan tawakkal kita akan selalu memohon kepada Allah dengan rendah diri membuktikan manusia sangat tergantung pada Allah SWT. atas hidup dan kehidupannya.
3. Dimensi ideologi merupakan dimensi yang berisi tentang 2 hal, yakni (1) eksistensi manusia terhadap Allah SWT, yaitu eksistensi manusia sebagai hamba Allah yang harus beribadah serta melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah SWT.; (2) Eksistensi manusia terhadap sesama makhluk Allah yang lain (sesama manusia dan alam semesta), yaitu keberadaan manusia yang tak bisa lepas dengan manusia yang lain. Manusia yang satu pasti akan membutuhkan pertolongan manusia yang lainnya dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu, dalam hubungannya dengan alam semesta, manusia mempunyai khalifah untuk menggali, mengolah, dan memanfaatkan serta memimpin.
4. Dimensi Sosial merupakan dimensi yang menjelaskan tentang ajaran Islam hubungannya dengan masyarakat dalam rangka menciptakan keadilan dan solidaritas antara sesama manusia sesuai dengan ungkapan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Rasa sosial dalam ajaran Islam salah satunya terdapat dalam ibadah seperti shalat, zakat, dan puasa.
5. Akidah syariah, dan akhlak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Akidah berkaitan dengan iman, syariah berhubungan dengan ibadah dan muamalah, sedangkan akhlak berhubungan dengan akhlak kepada Tuhan dan akhlak kepada makhluk. Akidah adalah dasar keyakinan yang mendorong penerimaan syariah Islam secara utuh. Jika syariah telah dilaksanakan berdasarkan akidah, akan lahir bentuk-bentuk tingkah laku yang baik bernama akhlak.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Nuar Dwiyarno. (2008 ). Takwa dan Tawakkal kepada-Nya. (online), (http://spesialis-torch.com/content/view/109/29/, diakses 16 Agustus 2010)
Ali, Muhammad Daud. 2006. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 1999. Reposisi Islam. Terjemahan oleh Muhammad Arif Rahman. 2001. Jakarta: Al Mawardi Prima.
Arwani.(2010). Dimensi-dimensi keberagaman. (online), (http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/209/memahami-makna-bahagia.html, diakses 14 agustus 2010).
Asuru, Arsidik Dkk. 1997. Pendidikan Agama Islam. Kendari: Universitas Haluoleo.
Djaelani, Abdul Qodir. 1996. Perjuangan Ideologi Islam di Indonesia. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Iskandar, Arief B. 2010. Tetralogi Dasar Islam. Bogor: Al-Azhar Press.
Nisa.(2009). Memahami Makna Bahagia.(online), (http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/209/memahami-makna-bahagia.html, diakses 16 Agustus 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar